Skip to content Skip to footer

PANDANGAN KRISTEN TENTANG KEMATIAN

PANDANGAN KRISTEN TENTANG KEMATIAN

MEMENTO MORI

Istilah memento mori berasal dari bahasa Latin yang bermakna ‘ingatlah bahwa Anda [akan] mati’. Itulah kiasan artistik atau simbolis sebagai pengingat bahwa kematian adalah sesuatu yang tidak terhindarkan (https://id.wikipedia.org/wiki/Memento_mori). Ketika ajal menjemput, manusia tidak memiliki pilihan selain menerimanya sebagai konsekuensi dari kehidupannya yang fana.  Eksistensi manusia di dunia memang hanya berada dalam lingkaran waktu yang terbatas. Seperti kata sang bijaksana, “Semua orang menghadapi nasib yang sama, apakah mereka baik atau jahat, orang yang menyembah Allah ataupun tidak, orang yang suci hatinya ataupun tidak. Semua orang menghadapi nasib yang sama: Orang benar ataupun orang berdosa, orang yang berani bersumpah ataupun yang takut bersumpah. Sebab itulah orang tidak berusaha berbuat baik, tetapi lebih suka mengikuti jalannya sendiri yang gila, karena tidak ada harapan; bagaimanapun juga, yang akan dihadapi mereka hanyalah kematian” (Pkh. 9:2, FAYH). Meskipun faktanya demikian, kematian sejujurnya selalu dihindari oleh siapa pun. Sebaliknya, kehidupan akan dipertahankan dengan segala daya. Mengapa?  Karena manusia yang hidup lebih berguna daripada orang mati, seperti kata Pengkhotbah, “lebih baik menjadi anjing yang hidup daripada menjadi singa yang mati” (9:4, FAYH).

SIKAP MANUSIA MENGHADAPI KEMATIAN

 Chairil Anwar, seorang sastrawan besar asal Medan, dalam sebuah puisinya yang paling terkenal berjudul “Aku”, menyatakan, “Aku ingin hidup seribu tahun lagi…” Menurut seorang akademisi sastra Indonesia, A.G. Hadzarmawit Netti, puisi “Aku” menekankan sifat individualistis Anwar yang tidak ingin dikendalikan oleh lingkungannya. Ia ingin independen dan terlindungi kebebasan berekspresi serta sifat individualistisnya karena hal itu akan membuat seseorang menjadi lebih kuat (https://id.wikipedia.org/wiki/Aku_(puisi).  Terlepas dari tafsir Netti di atas, cukilan puisi itu bisa jadi mewakili atau menggambarkan kondisi kebatinan manusia secara umum yang “menolak” kematian, padahal kematian adalah sebuah keniscayaan bagi makluk hidup.  Chairil Anwar, meskipun “ingin hidup 1.000 tahun”, harus mati muda pada usia 27 tahun. Itu artinya kematian bisa datang kapan saja. Secara psikologis manusia pasti takut menghadapi kematian. Ada yang takut membayangkan rasa sakit akibat terlepasnya jiwa dari badan yang konon tak terperikan. Adapun yang lain takut karena kematian bakal memisahkan ia dari segala yang dimiliki dan dicintai di dunia ini. Menurut Tulus Tu’u, reaksi tiap orang menghadapi kematian memang berbeda-beda. Hal itu terjadi karena adanya berbagai sikap batin dan iman dalam menghadapi kematian, seperti yang dipaparkan berikut ini.

  • Penolakan –alasannya karena setiap orang memiliki obsesi hidup sehat, ingin selalu segar bugar, dan berharap segala sesuatu berjalan lancar sampai tua. Ketika kenyataannya berbeda dan kematian mendekat, hal itu membuatnya memberontak, menolak, dan tidak dapat menerima keadaan yang dihadapi.
  • Kemarahan adalah luapan emosi dan tekanan batin yang berkepanjangan karena kematian. Yang bersangkutan marah, kecewa, dan tidak puas karena harapannya pupus. lalu menyalahkan pihak lain, seperti keluarganya, dokter, perawat, bahkan Tuhan karena dianggap tidak adil dan tidak mendengarkan doa permohonannya.
  • Kesedihan merupakan reaksi umum karena menganggap kematian sebagai babak paling gelap yang memisahkan orang hidup dengan orang mati.
  • Ketakutan –ya, kematian merupakan momok yang menghantui karena siapa pun tidak siap mati dan hidupnya di dunia berakhir. Itulah sebabnya, kematian sedapat-dapatnya dihindari atau paling tidak diperlambat (Tu’u, 2006:25–33).

Baca juga: 50 Kata Penghiburan Kristen Saat Berduka: Dalam Keheningan, Tuhan Mendekatimu

KEMATIAN DITINJAU DARI PERSPEKTIF IMAN KRISTEN

Ada beberapa pandangan tentang kematian menurut perspektif iman Kristen. Pertama, kematian adalah realitas alami. Semua yang hidup pasti akan mati. Mazmur 90:10 menyatakan, “Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun….” Ayat itu menunjukkan bahwa kehidupan dan kematian diakui dalam Alkitab. Kematian itu sendiri pasti akan terjadi karena hukum alam: akibat penuaan, sakit-penyakit, atau musibah tertentu yang mustahil dihindari. Kedua, kematian bukanlah akhir dari kehidupan. Mengapa? Karena dibalik kematian jasmani masih ada lagi kehidupan kekal bersama Tuhan di surga. Kematian jasmani merupakan bagian dari proses menuju kehidupan kekal. Akhir kehidupan manusia tidak terletak pada kematian jasmani karena itu justru menjadi pintu gerbang bagi kehidupan baru di dalam kekekalan bersama dengan Tuhan di surga. Orang yang beriman kepada Yesus pasti akan mendiami rumah yang disediakan Yesus di surga. Mereka akan dibangkitkan pada saat kedatangan Yesus kedua kali untuk masuk surga yang kekal. Hal itu dijamin oleh Kristus karena Dia adalah sulung dari kebangkitan orang mati, seperti diungkapkan Paulus, “Tetapi yang benar ialah, bahwa Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati, sebagai sulung dari orang-orang yang telah meninggal” (1 Kor.15:29). Karena Yesus adalah sulung dari kebangkitan, setiap orang percaya yang mati di dalam Tuhan akan bangkit untuk hidup selamanya di surga. Ketiga, ada kebangkitan orang mati. Hal kebangkitan orang mati memang melampaui akal manusia. Itulah sebabnya, orang-orang Saduki tidak memercayainya, termasuk sebagian jemaat di Korintus yang bimbang akan hal itu. Namun, Paulus meyakinkan jemaat di Korintus bahwa kebangkitan orang mati pasti akan terjadi karena Yesus Kristus sudah bangkit dan itu menjadi tumpuan serta jaminan  kebangkitan orang percaya untuk hidup kekal bersama Bapa di surga (bdgk. 1 Tes.4:14, 16–17, Rm.6:8, Yoh.14:1–3, 1 Ptr. 3:18, 1 Kor.15:22).

 

PENGHIBURAN BAGI MEREKA YANG BERDUKA CITA

Pendidikan, ilmu pengetahuan, jabatan, uang, atau harta benda penting serta perlu dalam kehidupan. Namun, sering semua itu tidak dapat menjamin dan menolong kita keluar dari kemelut hidup yang berat akibat dukacita karena kematian. Dalam suasana duka, yang dibutuhkan adalah kehadiran keluarga, teman, dan sahabat. Kehadiran orang-orang yang memberi dukungan morel mau pun materiel membuat keluarga yang berduka merasa tidak sendirian menanggung dukacita. Demikian juga kehadiran jemaat dan persembahan pujian, doa, serta sabda firman Tuhan, yang akan menghadirkan kesegaran, penghiburan, kekuatan, kesabaran, dan ketabahan. Namun, yang paling penting disampaikan kepada keluarga yang berduka adalah janji Allah di dalam firman-Nya: “Akulah kebangkitan dan hidup; barang siapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya” (Yoh.11:25–26). Agar siapa pun yang berduka dikuatkan menghadapi situasi yang berat itu, sekali lagi, hal yang terpenting adalah kehadiran kita yang turut berbela rasa dan mendorong  mereka untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, Sumber kekuatan dan penghiburan dalam masa-masa berat karena dukacita.


Yupiter Sepaya

Referensi:

Tu’u, Tulus. 2006. Melenggang ke dalam Kekekalan (Bandung: Kalam Hidup).

https://id.wikipedia.org/wiki/Aku_(puisi)

https://id.wikipedia.org/wiki/Memento_mori

 

Sampaikanlah Pendapatmu...
+1
2
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

Leave a comment

Verified by MonsterInsights