
PENDIDIKAN ANAK YANG MANUSIAWI
Memahami Multiple Intelligencies Howard Gardner
dalam Pendidikan Anak.
Pada artikel kali kini kita akan mengupas lebih dalam untuk memahami Multiple Intelligencies yang di gagas oleh Howard Garner dalam lingkup Pendidikan Anak. Tujuannya agar kita semakin mengerti bagaimana pendidikan anak yang manusiawi.
Masalah Pendidikan Anak
Pengalaman Pribadi tentang Pendidikan Anak
Saya masuk Sekolah Rakyat 1 Agustus 1959. Pada waktu itu pelaksanaan pendidikan (khususnya pendidikan anak) sangat langka teori. Satu-satunya metode mengajar adalah pemaksaan murid menghafal semua materi belajar. Kalau tidak hafal perkalian 2-9 tidak boleh pulang. Kalau tidak hafal ibukota provinsi seluruh Indonesia tidak boleh pulang. Ada murid yang sampai pukul 14.00 masih di sekolah karena tidak hafal tugas yang diberikan. Kalau salah sedikit dipukul pakai penggaris dari kayu yang panjangnya satu meter. Kuku tidak bersih dipukul. Selama pendidikan di Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, sampai kuliah S1, metode mengajar hanya satu, yaitu metode one way direction (metode ceramah). Kalau guru bertanya, bukan berarti dia menggunakan metode bertanya yang digagas oleh Socrates, melainkan untuk menguji kemampuan murid.
Kelangkaan Metode Mengajar
Tahun 1959, berarti Indonesia baru merdeka 12 tahun. Metode mengajar masih memakai metode kolonial Belanda. Tetapi anehnya, para murid dan orang tua tidak marah kepada guru. Guru adalah sosok yang ditakuti. Kelangkaan guru dan semangat masyarakat untuk mendapat pendidikan pada waktu itu, menyebabkan semuanya menerima perlakuan itu. Itu keadaan sekolah dasar/rakyat 63 tahun yang lalu.
Hal itu memang tidak bisa disalahkan, karena para guru memang tidak tahu berbagai metode mengajar. Apa yang mereka terima selama pendidikan guru, itulah yang mereka terapkan. Namun sangat disayangkan, semasa saya SMP (1969), SMA (1971), dan S1 (1984) metode mengajar tidak ada perubahan yang berarti. Tetap saja metode ceramah disertai dikte, siswa mencatat, yang kadang-kadang sangat membosankan.
Ketidaktahuan akan Perbedaan
Kelangkaan metode mengajar tersebut di atas diperparah lagi oleh ketidaktahuan guru akan perbedaan kecerdasan murid. Semua murid dianggap memunyai kecerdasan yang sama. Dimotivasikanlah murid,” Kalau si A bisa maka kamu juga harus bisa.” Para guru pada waktu itu memegang teguh teori Empirisme yang terkenal dengan tabula rasa yang digagas oleh Jhon Locke (1632-1704) dan sebelumnya oleh Francis Bacon (1561-1626).
Materi pelajaran yang sama diterapkan pada semua murid. Pada waktu itu memang belum ada penelitian tentang perbedaan kecerdasan manusia.
Pemaksaan yang Tidak Manusiawi (dalam Pendidikan Anak-red)
Metode mengajar yang sama, mata pelajaran yang sama, waktu belajar yang sama, diharapkan semua murid mendapat pengetahuan yang sama. Hasil didikan itu diharapkan menjadi bekal murid untuk melanjutkan ke tingkat pendidikan selanjutnya. Diukur dengan kondisi pembelajaran sekarang ini, memang pembelajaran seperti itu adalah pemaksaan yang tidak manusiawi.
Manusia Diciptakan Tidak Sama
Pada hakikatnya, manusia diciptakan tidak sama. Ada perbedaan dalam bentuk fostur tubuh, warna kulit, bentuk rambut, cita-cita, kecerdasan, karakter, kepribadian, ketahanan fisik, ketahanan mental, dll. Hal ini sangat perlu dipahami oleh setiap orang agar dia dapat mengerti orang lain.
Dalam hidup, kita perlu memahami diri sendiri dan juga memahami orang lain. Pemahaman akan diri sendiri, artinya mengetahui kekuatan atau potensi diri untuk dikembangkan, dan kelemahan diri untuk diatasi jangan sampai mengakibatkan kerugian atau celaan pada diri sendiri. Memahami orang lain, artinya memiliki pengetahuan bahwa orang itu berbeda satu sama lain. Kita tidak bisa menyamakan orang lain dengan diri kita. Hal ini penting agar kita tidak saling menyalahkan atau mencela orang lain, karena tidak sama dengan kita. Di samping itu, menyadari perbedaan dapat menciptakan keharmonisan atau kerukunan dalam pergaulan sosial.
Nativisme
Filsuf Jerman Arthur Schopenhauer (1788-1960) adalah pelopor teori Nativisme dalam pendidikan. Teori Nativisme ini juga disebut Talent Theory atau teori bakat. Teori ini berpendapat bahwa perkembangan atau potensi atau bakat manusia itu dibawa manusia sejak lahir. Dari lahirnya, manusia itu sudah memiliki bakat-bakat tertentu, memiliki potensi tertentu. Pendidikan dan lingkungan tidak dapat mengubahnya; kalaupun bisa diubah, maka berubahnya itu sangat sedikit. Teori Empirisme dan teori Nativisme ini adalah teori yang kontradiktif. Akhirnya, kedua teori ini diambil jalan tengah oleh seorang filsuf Jerman: William Louis Stern (1871-1938). Dia mengatakan bahwa teori Empirisme dan teori Nativisme itu dapat dikombinasikan, yang dia sebut sebagai Teori Konvergensi (Convergence Theory).
Dalam teori ini, perkembangan individu tidak hanya faktor bakat (faktor internal) sebagaimana dalam Nativisme Arthur Schopenhauer, dan juga tidak semata-mata karena faktor eksternal (lingkungan) sebagaimana dalam Empirisme Jhon Locke dan Francis Bacon. Maksudnya, bakat dapat berkembang dengan baik apabila ada lingkungan pendidikan yang baik. Jika lingkungan tidak mendukung, maka bakat itu tidak dapat berkembang dengan baik. Sebaliknya, meskipun bakat sangat sedikit, bahkan tidak ada sama sekali, tetapi lingkungan pendidikan sangat baik (pendidik yang kompeten, sarana dan prasarana yang lengkap, situasi belajar yang sangat mendukung, metode mengajar yang tepat), maka potensi orang itu akan berkembang.
Menyikapi perbedaan individu itu, maka Kalam Hidup menerbitkan sebuah buku yang berjudul: 52 METODE MENGAJAR, dengan judul kecil: Mengangkat Harkat dan Martabat Pendidik Menjadi Berwibawa dan Terhormat. Pendidik dapat memilih beberapa metode itu yang cocok dengan situasi belajar dan para peserta didik. Dengan demikian pembelajaran dapat berlangsung dalam kondisi yang menyenangkan. Perbedaan peserta didik dapat diakomodir dengan menerapkan berbagi teori mengajar.
Pendidikan Anak yang Manusiawi
Sekitar 40 tahun yang lalu Prof. Howard Garner, seorang professor pendidikan di Universitas Harvard, mengadakan penelitian tentang kecerdasan majemuk. Hasil penelitian itu dituangkan dalam buku Frames of Mind- The Theory of Multiple Intelligences, yang terbit tahun 1983. Dalam buku itu, kecerdasan manusia dibagi ke dalam delapan jenis, yaitu:
- A way with words: Verbal linguistic intelligence (kecerdasan berbahasa).
- The calculating mind: Logical-mathematical (kecerdasan logika-matematika).
- Moving to learn: Kinesthetic intelligence (kecerdasan kinestetik).
- Every one is an artist: Visual-spacial intelligence (kecerdasan spasial).
- Tuning in: Musical intelligence (kecerdasan bermusik).
- Understanding one another: Interpersonal intelligence (kecerdasan interpersonal)
- The world within: Intrapersonal intelligence (kecerdasan intrapersonal).
- The world around us: Naturalist intelligence (kecerdasan naturalis).
(Sumber: Linda Campbell, Multiple Intelligences, Allyn and Bacon, Boston, 1999 dalam https://archieve.org/details/teaching-learning 0002camp).
Pendidikan anak yang manusiawi hendaknya memperhatikan dan menerapkan jenis kecerdasan itu. Proses belajar mengajar diarahkan kepada bakat dan minat yang dimiliki anak. Pemilihan jenis sekolah dan jurusan juga hendaknya memperhatikan bakat dan minat itu. Jika dipaksakan masuk jenis pendidikan yang bukan bakat dan minat anak, mungkin juga berhasil, namun anak tidak menyukai pekerjaan itu. Ada contoh kongkrit terjadi. Seorang Pendeta ingin anaknya menjadi dokter. Anaknya masuk Fakultas Kedokteran, lulus menjadi dokter. Tetapi anak tersebut tidak ada minat bekerja di lembaga kesehatan sehingga sampai sekarang tetap menyandang predikat dokter tetapi tidak praktek, tidak bekerja di RS atau poliklinik. Penyebabnya, karena dia tidak menyukai pekerjaan itu. Saya harap itu tidak terjadi lagi dalam masyarakat kita.
Saran Pendidikan Anak Untuk Para Pendidik
- Pahami bahwa anak didik memiliki bakat dan minat yang berbeda.
- Jangan marah kepada anak didik yang suka melawak, suka bermusik dengan memukul meja, karena dia mungkin memiliki intelegensi tinggi di bidang musik. Arahkan anak didik itu untuk mengembangkan bakatnya.
- Mengajar dan mendidiklah secara meyakinkan, berwibawa, jelas dan menyenangkan.
- Pakailah beberapa metode mengajar secara bergantian untuk mengakomodir perbedaan intelegensia peserta didik agar pembelajaran itu menyenangkan dan cepat dimengerti.
Miliki dan pelajari buku: 52 Metode Mengajar terbitan Kalam Hidup.
Baca juga beberapa buku rohani Kristen bermutu terbitan Kalam Hidup.
Salam, F.Thomas Edison
Terkait
Trackbacks and pingbacks
No trackback or pingback available for this article.
Leave a reply