Skip to content Skip to footer

PANDANGAN TENTANG MANUSIA MENURUT FILSAFAT & TEOLOGI KRISTEN

STIGMA TERHADAP FILSAFAT

Kalam Hidup – Filsafat adalah salah satu disiplin ilmu yang dipelajari di hampir semua kampus. Filsafat sendiri berakar dari dua kata, philos yang bermakna ‘cinta’ dan sophia yang artinya ‘kebijaksanaan’. Tujuan mempelajari filsafat adalah untuk menciptakan manusia yang cinta akan kebijaksanaan, berpikir kritis dan sistematis, serta tajam  dalam bernalar. Meskipun bertujuan mulia, sampai dengan saat ini banyak orang yang alergi dan menganggap filsafat sebagai ilmu yang njelimet sehingga dihindari dan dimusuhi. Bahkan, filsafat kerap distigmatisasi sebagai biang kerok yang membuat banyak orang beragama menjadi sesat pikir hingga menjadi ateis. Anggapan demikian tentu saja keliru dan perlu diluruskan. Filsafat sejujurnya merupakan ilmu kritis yang akan mengultivasi tradisi berdialektika di samping memperkaya perspektif keilmuan seseorang. Menurut Romo Magnis, “Filsafat tidak menyangkal dan melawan agama tetapi mengkritik agama. Dan kritik filsafat itu justru sangat diperlukan karena agama pun sering disalahgunakan secara ideologis. Itulah sebabnya pemikiran filosofis diperlukan guna membantu agama untuk menghindar dari kesimpulan-kesimpulan ideologis yang akan membikin busuk keagamaan, dan sebaliknya  membantu agama untuk merumuskan dengan lebih tepat apa yang menjadi kepercayaannya, termasuk di dalamnya memahami manusia secara lebih mendalam” (Franz Magnis Suseno, Rapsodia Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 2022:9).

MANUSIA DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT KUNO

Beberapa pertanyaan tentang: Siapakah manusia? Dari mana asalnya? Untuk apa dia ada di duna, merupakan beberapa pertanyaan filosofis yang tidak pernah usang dipertanyakan sepanjang zaman ketika membahas topik tentang manusia. Jawaban atas pertanyaan itu umumnya dapat dikelompokkan dalam dua sudut pandang, yakni menurut perspektif  filsafat Yunani kuno dan menurut filsafat modern. Dalam terang filsafat Yunani kuno, manusia dideskripsikan dengan teori descendensi seperti yang termuat dalam artikel kompas.com tentang “Manusia dalam Pandangan Filsafat“. Teori itu menempatkan manusia sejajar dengan hewan berdasarkan sebab mekanis. Artinya, manusia tidaklah jauh berbeda dengan hewan, seperti memiliki kemampuan menyusui. Hanya, manusia digolongkan sebagai jenis hewan yang berpikir. Hal itu dikemukakan pula oleh Aristoteles, seorang filsuf besar Yunani kuno (384–322 SM). Ia menyatakan bahwa manusia memang dapat disetarakan dengan hewan, tetapi hewan berakal sehat yang bisa berbicara dan berpendapat berdasarkan akal pikirannya, termasuk kemampuannya untuk berkomunikasi karena manusia memunyai bahasa yang memungkinkan ia berbicara dengan yang lain.

MANUSIA MENURUT FILSAFAT MODERN

Filsafat modern merupakan rentetan historis dari tradisi pemikiran Barat yang muncul antara abad XV hingga abad XVIII dan terbagi dalam tiga zaman, yaitu Zaman Renaissance (abad XV–XVI), Zaman Pencerahan (abad XVIII), dan Zaman Romantik (Abad XVIII), yang corak berpikirnya terbagi dalam tiga aliran besar, yakni Rasionalisme, Empirisme, dan Idealisme. Tiap-tiap aliran memiliki pandangannya  sendiri-sendiri tentang manusia.

  1. RASIONALISME
    Rasionalisme dengan tokoh-tokohnya yang terkenal, seperti Rene Descartes, Baruch Spinoza, dan Gottfried Wilhelm Leibniz, menyatakan bahwa manusia adalah makluk yang berakal, yang dengan akalnya manusia dapat memahami seluruh kenyataan. Apa yang disebut oleh mereka sebagai kenyataan adalah semua hal yang dapat dipahami, dijangkau, dan dikuasai oleh akal manusia. Akan tetapi, meskipun ketiganya sepakat menyatakan bahwa manusia adalah makhluk berakal sehat yang mampu memahami seluruh kenyataan, mereka memiliki perperspektif atau sudut pandang yang berbeda ketika mendefinisikan substansi manusia. Decartes dan Leibniz berpendapat bahwa manusia itu terdiri atas dua substansi, yaitu tubuh dan jiwa, dan keduanya saling berhubungan, tetapi tidak merupakan satu kesatuan. Adapun Spinoza berpandangan bahwa tubuh dan jiwa adalah satu substansi saja.  Dalam hal itu, tubuh dan jiwa adalah cara perwujudan Allah, yang pada akhirnya akan melebur kepada Allah sebab manusia adalah hasil emanasi (pancaran) dari Allah sendiri. Meskipun ketiga filsuf itu berbeda sudut pandang tentang substansi manusia, ketiganya  sepakat menyatakan bahwa jiwa itu bersifat kekal, sedangkan tubuh akan mengalami kebinasaan. Ketiganya juga meyakini bahwa akhir hidup manusia (setelah kematian) adalah kebebasan jiwa (roh) dari tubuh.
  2. EMPIRISME
    Filsafat & Teologi Kristen
    Cek Buku “Manusia Menurut Filsafat Modern”

    Empirisme adalah aliran filsafat yang menekankan pengalaman sebagai satu-satunya sumber pengetahuan manusia. Demokritos (460–370 SM) merupakan salah satu tokoh penggagas paham itu. Ia tidak membedakan pengenalan indrawi dengan rasionalitas. Pandangannya tersebut merupakan benih/cikal bakal pemikiran empirisme modern (Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1984:64). Ide dasar dari para pemikir Empirisme sebetulnya sama dengan kelompok Rasionalisme yang juga menggolongkan manusia sebagai makhluk yang berakal. Namun, bagi kelompok itu, akal bukanlah sumber pemahaman mengenai segala sesuatu karena, bagi mereka, pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan yang membuat manusia memahami segala kenyataan yang berkaitan dengan realitas dirinya sendiri. Tokoh-tokoh besar aliran itu, seperti Locke, Berkeley, Rousseau, dan Kant, menyatakan bahwa pengalaman (empiri), baik itu pengalaman batiniah maupun lahiriah manusia, memunyai nilai-nilai objektif. Adapun akal tidak menghasilkan pengetahuan karena hanya melalui pengalaman manusia baru memperoleh pengetahuan. Intinya, manusia itu dapat dipahami sejauh apa yang dapat diamati melalui pengalaman indrawi. Oleh karena itu, bagi para pemikir Empirisme, materi (tubuh), dan jiwa tidaklah memiliki perbedaan yang hakiki. Pengalaman membuat manusia berperilaku “baik” dan itu merupakan naturnya sebagai makluk ciptaan. Hanya, kelompok  Empirisme menempatkan Tuhan sebagai khalik yang bersifat “transcendental-deistis” dan “agnostis”. Dengan demikian, konsekwensinya adalah eksistensi manusia seakan-akan dianggap terpisah jauh dan tidak berhubungan sama sekali dengan Tuhan. Meskipun demikian, para filsuf Empirisme memercayai  adanya kehidupan abadi setelah kematian (Suhandi Susanto, Manusia Menurut Filsafat Modern. Bandung: Kalam Hidup, 2000:24).

  3. IDEALISME
    Aliran filsafat itu dimotori tiga tokoh terkenal, yakni Johan Gottlieb Fichte, Friedrich Wilhelm Schelling, dan George Wilhelm Friedrich Hegel. Mereka menekankan bahwa “idea” (dunia roh) merupakan objek pengertian dan sumber pengetahuan. Bagi mereka, dunia “idea” itu adalah dunia yang terpisah dari alam atau kenyataan, dan merupakan sumber awal dari segala sesuatu. Idealisme juga berpandangan bahwa segala sesuatu yang dilakukan manusia tidaklah selalu berkaitan dengan hal-hal yang bersifat lahiriah, tetapi juga didasarkan pada prinsip kerohanian (idea). Itulah sebabnya, Idealisme sangat mementingkan perasaan dan fantasi manusia sebagai sumber pengetahuan. “Idea” itu sederhananya dapat dimengerti dalam hubungannya yang erat dengan apa yang disebut “kesadaran manusia” sebab hanya dengan kesadaran itulah, manusia mampu memahami segala kenyataan dan realitas. Dengan pemahaman itu, manusia ditempatkan sebagai subjek yang memberi bentukpada kenyataan karena segala realitas harus dimaknai sebagai perwujudan kesadaran dari Yang Mutlak (Allah).

 

Dari uraian sekilas tersebut, tampak jelas alur berpikir ketiga aliran filsafat modern yang condong atau bercorak “antroposentrisme”, yakni suatu corak pemikiran yang menjadikan manusia sebagai pusat pemikiran dan perhatian. Namun, subjektivitas pemikiran tentang manusia haruslah dipandang sebagai mata rantai perkembangan dari pemikiran sebelumnya, terutama pengaruh pemikiran dari era Renaissance. Menariknya, meskipun semua aliran filsafat bersifat antroposentris, cara mereka memandang manusia ternyata berbeda-beda antara satu dan yang lainnya. Bahkan, di antara filsuf-filsuf yang satu paham pun bisa terdapat perbedaan pandangan. Meskipun demikian, filsafat modern sepakat menyatakan bahwa tujuan akhir manusia adalah untuk mencapai kesadaran Yang Mutlak (Allah) dalam konteks pemahaman  manusia secara komunal, bukan sebagai individu dengan segala keunikannya. Pada akhirnya, semua upaya filsafat modern dalam upaya mendefinisikan dan memahami manusia itu semuanya merupakan sebuah proses dalam perjalanan manusia yang panjang dan berliku untuk kembali kepada Roh Yang Mutlak, yang tidak lain adalah Allah itu sendiri.

PANDANGAN TEOLOGI KRISTEN TENTANG MANUSIA

Teologi Kristen adalah pengetahuan yang sistematis tentang Allah dan hubungannya dengan manusia ciptaan-Nya seperti yang diajarkan Alkitab. Dalam definisi itu tercakup respons manusia terhadap penyataan Allah, yaitu usaha-usaha untuk memahami manusia dan dunianya dari perspektif Alkitab. Itu berarti Teologi Kristen “berhubungan dengan usaha-usaha untuk memahami Alkitab serta penerapannya ke dalam setiap bagian kehidupan dan pemikiran” (Daniel Lukas Lukito, Pengantar Teologia Kristen, Bandung: Kalam Hidup, 1992:18). Jadi, Alktab semestinya ditempatkan sebagai rujukan utama pengetahuan tentang manusia karena Alkitab adalah firman Allah yang menjadi dasar dan sumber kepercayaan serta pengajaran iman Kristen. Alkitab memberikan gambaran yang jelas mengenai karya Allah sebagai Pencipta manusia dan terus berbicara serta bekerja di dalam sejarah dan melalui manusia. Dengan demikian, pandangan Teologi Kristen tentang manusia tidak bisa dilepaskan dari relasi manusia dengan Allah. Intinya, pengetahuan dan pemahaman tentang manusia harus ditelusuri dari peristiwa berikut.

Pertama, penciptaan (asal usul manusia). Alkitab sangat gamblang menyatakan bahwa manusia adalah ciptaan Allah yang diciptakan berbeda dengan ciptaan lainnya karena manusia diciptakan menurut “gambar dan rupa” Allah ( Kej. 1:26). Dari ayat itu jelas ditunjukkan bahwa manusia diciptakan langsung oleh Allah secara sempurna. Jadi, menurut Alkitab sebagai sumber utama Teologi Kristen, manusia adalah ciptaan Allah yang unik dan sempurna yang diciptakan untuk kemuliaan Allah sendiri (Yes. 43:7, Rm. 11:36, Kol. 1:16–17, Why. 4:11).

Kedua, keadaan manusia setelah jatuh ke dalam dosa. Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang diberi kehendak bebas untuk memilih, untuk taat atau tidak taat terhadap perintah Allah, dan bebas pula bertindak menurut kehendak sendiri atau kehendak Allah (Kej. 3:16–17). Sayangnya, di dalam kebebasannya itu manusia memilih untuk tidak menaati Allah dan memilih jalan yang salah (Kej. 3). Ketidaktaatan kepada Allah itu membuat manusia jatuh ke dalam dosa, yang mengakibatkan manusia menderita dan terpisah dari Allah. Kejatuhan Adam dan Hawa menyebabkan seluruh umat manusia hidup dalam kegelapan dosa (Rm. 3:10–23). Sejak kejatuhan Adam dan Hawa itulah hubungan manusia dengan Allah menjadi rusak dan manusia terpisah serta tidak dapat mengenal Allah dengan benar (1 Kor. 2:14). Keterpisahan dari Allah itu mengakibatkan manusia berdosa dan gagal dalam tanggung jawab moral (Rm. 8:6–8), serta terbatas kemampuannya untuk memilih jalan yang benar, bahkan oleh dosa itu manusia terancam kematian kekal (Kej. 2:17; 3:19, Rm. 5:15–21). Kematian kekal berarti penghukuman kekal (2 Kor. 1:7–9). Kondisi itu digambarkan dengan jelas oleh Phillips, “Setelah manusia jatuh ke dalam dosa, ia dipisahkan dari kehidupan Allah. Roh manusia menjadi mati terhadap Allah … bukan mati dalam arti tidak aktif, tetapi dalam arti sama sekali tidak dapat berfungsi dengan sepatutnya. Roh manusia yang dimaksudkan untuk menjadi tempat kediaman Allah, jadi mati sama sekali terhadap Allah dan lebih buruk lagi ialah bahwa roh manusia itu menjadi tempat tinggal roh-roh jahar” (McCandlish Philiiips, Dunia Roh, Bandung: Kalam Hidup, 1979:130).

Ketiga, keadaan manusia setelah dipulihkan di dalam Kristus. Kejatuhan manusia ke dalam dosa (Kej. 3), membuat setiap aspek kehidupannya menjauh dari kehendak Allah. Dosa telah merusak kehidupan manusia dan mengakibatkan manusia kehilangan kemuliaan Allah serta terancam binasa dalam kematian kekal (Rm. 3:23; 6:23). Namun, Allah yang penuh kasih dan rahmat tidak membiarkan manusia binasa. Ia memulihkan manusia dengan cara mengutus Anak-Nya Yang Tunggal untuk menjadi Juruselamat manusia (Yoh.3:16, Rm.5:8, 10; 1 Yoh. 4:10). Oleh karena itu, menurut Hunter, “Hidup dan karya Kristus merupakan sebuah ‘penyelamatan’ yang diberikan Allah bagi dunia ini dengan segala isinya” (A.M. Hunter, Memperkenalkan Teologia Perjanjian Baru, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1977:11). Atas dasar karya Kristus di kayu salib, setiap pendosa yang beriman kepada Kristus menjadi “ciptaan baru” dan memiliki hidup yang baru (2 Kor.5:17, Ef.2:4–5). Demikianlah Allah telah memberikan jalan keluar untuk memulihkan keberadaan manusia berdosa  melalui kematian dan kebangkitan Kristus. Melalui jalan salib, Allah memulihkan manusia dari kehidupan berdosa pada keselamatan dan kehidupan yang baru (Rm. 6:4).

SIMPULAN

Berdasarkan kajian tersebut, dapatlah dikatakan bahwa pandangan filsafat dan teologi Kristen tentang manusia sangatlah kontradiktif. Hal itu terjadi karena dasar berpijaknya berbeda satu sama lain. Alam berpikir filsafat kuno maupun modern  mendeskripsikan manusia berdasarkan asumnsi “antroposentris”, yang  fokus penelitiannya tentang keberadaan manusia dianalisis berdasarkan realitas manusia yang tampak, baik secara individu maupun kelompok. Itulah sebabnya, konsepsi para filsuf tentang hakikat manusia tidak pernah tuntas. Hal itu jelas semakin menunjukkan keterbatasan akal manusia. Jadi, memang tidak mengherankan jika berbagai pendekatan metodologis filosofis yang berbeda-beda  justru cenderung mengaburkan definisi tentang eksitensi manusia dengan segala keunikannya. Artinya, pendekatan filosofis yang mengandalkan otak manusia tidak mampu menjangkau dan menjelaskan hakikat manusia secara utuh. Adapun teologi Kristen justru sebaliknya, mampu merumuskan dan menjelaskan hakikat manusia secara gamblang karena alam berpikirnya didasarakan pada konsepsi “teosentris”, yakni memusatkan sudut pandangannya pada penyataan (wahyu) Allah di dalam Alkitab. Fondasi berpikir teologi Kristen jelas tidak bisa diragukan karena bertumpuh pada sumbernya yang autentik, yaitu Allah Sang Pencipta. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa siapa pun yang ingin memahami hakikat manusia secara utuh, ia harus membuka dan membaca Alkitab karena Alkitab adalah dokumentasi yang rinci, benar, dan paripurna tentang apa dan siapa manusia yang diciptakan segambar dengan rupa-Nya itu. Alkitab memang dapat dipercaya dan merupakan barometer pengukur kebenaran tertinggi karena penulisnya adalah Allah itu sendiri (2 Tim. 3:16).

Yupiter Sepaya

Sampaikanlah Pendapatmu...
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

Leave a comment

Verified by MonsterInsights