
IBU TEGA BUNUH ANAKNYA
Ibu menganiaya anaknya hingga tewas
Beberapa hari terakhir, masyarakat digegerkan dengan pemberitaan tentang seorang Ibu di Brebes yang nekat menggorok leher ketiga anaknya. Pelaku bernama KU (35) tinggal di Dukuh Sokawera, Kecamatan Tonjong, Kabupaten Brebes. Ibu tersebut telah menganiaya tiga anaknya dengan senjata tajam pada Minggu (20/3/2022).
Akibatnya dua anak yang berusia 4,5 tahun yakni E dan S (10) harus dilarikan ke RS karena luka serius di leher serta dada. Sementara anak keduanya, ARK yang berusia 7 tahun tewas karena luka di leher. Dari pemeriksaan awal pihak kepolisian, KU mengaku mendapat bisikan gaib untuk membunuh anaknya. (Kompas.com) Lalu apa pendapat psikolog terkait kasus tersebut?
Beban psikis Ibu yang sangat berat
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti kepada Suara.com, Senin (21/3/2022) menyatakan bahwa berdasarkan keterangan kepolisian, pelaku mengalami depresi karena tekanan hidup.
Sementara dari kesaksian tetangga, dituturkan bahwa pelaku sebenarnya orang pendiam, jarang ngobrol dengan tetangga sehingga masyarakat sekitar tidak mengetahui bahwa pelaku sedang depresi. Psikolog mengatakan bahwa orang yang mengalami depresi butuh dukungan dan penguatan dari orang yang ada di sekitarnya. Tetapi karena keluarga ini terkesan tertutup, maka tetangga di sekitarnya merasa rumah tangga pelaku baik-baik saja.
Dari hasil penyidikan kepolisian diketahui bahwa sebelumnya pelaku bekerja sebagai make up artis di Jakarta. Tetapi karena pandemi covid, ia kehilangan pekerjaan lalu kembali ke kampungnya di Brebes, sementara suaminya bekerja sebagai satpam di Jakarta.
Akibatnya pelaku harus membesarkan ketiga anaknya tanpa didampingi suami. Dalam situasi seperti itulah, pelaku tampaknya tidak kuat menanggung beratnya tekanan kehidupan sehingga mengalami depresi dan melakukan tindakan yang sangat tidak masuk akal.
Penderita Depresi memerlukan perhatian orang sekitar
Mungkin kita beranggapan Ibu ini kelewatan. Tetapi coba perhatikan orang di sekitar kita. Bukankah tidak jarang kita menjumpai ibu-ibu yang frustasi dan berteriak-teriak memukul dan mencaci-maki anaknya? Kalau kita coba berbicara dan mendengar masalahnya, baru kita menyadari bahwa masalahnya cukup kompleks. Lalu bagaimana seharusnya sikap kita?
Pdt. Dr. Daniel Ronda dalam bukunya “Pengantar Konseling Pastoral Teori dan Kasus Praktis dalam Jemaat” yang diterbitkan Kalam Hidup menyatakan bahwa jika dalam hidup ini banyak masalah adalah sesuatu yang lumrah dan selalu terjadi. Dalam konteks Kristiani, penulis menyampaikan bahwa memang sudah menjadi tugas gereja bersama jemaat menghadapi masalah yang ada.
Namun yang kerap terjadi adalah ketika orang bermasalah dalam jemaat membawa masalahnya kepada hamba Tuhan atau majelis gereja, kondisi menjadi runyam karena seluruh jemaat akhirnya tahu tentang persoalannya dan bergosip ria atas masalahnya.
Yang lebih menyedihkan adalah ketika hamba Tuhan yang didatangi tampak kurang memedulikan masalah dari anggota jemaat yang datang kepadanya dan langsung membacakan Alkitab serta berdoa. Itu memang baik dan esensial; doa dan firman Tuhan merupakan sesuatu yang mulia. Namun tanpa mengetahui persoalannya, kita akan kehilangan peluang untuk menolong si empunya masalah.
Perhatian penulis sesungguhnya sedang menyoroti posisi dan peran konseling pastoral dalam kehidupan berjemaat. Penulis berharap pendeta atau rohaniwan dan jemaat akan sama-sama cakap serta mampu menjalankan pelayanan konseling.
Dengan kata lain, setelah membaca buku ini, setidaknya semua orang diharapkan memiliki sedikit pengetahuan dasar konseling sehingga pada waktu menjumpai orang yang sedang depresi misalnya, dapat memberikan pertolongan. Dengan demikian yang bersangkuitan tidak sampai terjerumus melakukan tindakan irasional yang membahayakan dirinya dan orang di sekitarnya.
Itu berarti kita harus belajar peka melihat orang di sekitar. Yang pasti, orang depresi membutuhkan pribadi yang mau mendengar masalahnya dan memberi perhatian dengan tulus. Mungkin kita tidak dapat memberi solusi, tapi dengan kesediaan mendengar, akan sangat menolong. Kasus Ibu yang tega menggorok leher anak di Brebes memberikan pelajaran bahwa kita tidak boleh lagi bersikap acuh tak acuh terhadap masyarakat di sekitar, secara lebih khusus sesama anggota jemaat.
Bambang Suprapto
Baca juga : MENDIDIK UNTUK KEHIDUPAN – NON SCHOLAE SED VITAE DISCIMUS
Terkait
Trackbacks and pingbacks
No trackback or pingback available for this article.
Leave a reply